Wednesday, 21 April 2010

Jagalah Lisanmu!

Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawab” (QS al Isra:36).
Tentang ayat ini Ibnu Abbas mengatakan sebagaimana penuturan al ‘Aufi, “Janganlah engkau menuduh seseorang dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentang kebenarannya”. Sedangkan Muhammad bin al Hanafiyah mencontohkan bahwa yang dimaksud adalah larangan melakukan persaksian palsu. Qotadah berkata, “Janganlah engkau mengatakan ‘Aku melihat demikian’ padahal engkau tidak melihatnya, ‘Aku mendengar demikian’ padahal engkau tidak mendengarnya, ‘Aku tahu demikian’ padahal engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Allah akan menanyaimu tentang semua itu”.
Kesimpulan dari uraian di atas, menurut Ibnu Katsir, adalah sesungguhnya Allah melarang berkata-kata tanpa dasar ilmu namun sekedar praduga tanpa dasar…. Semua hal itu yaitu mendengar, melihat dan hati akan dimintai pertanggungjawaban pada hari Kiamat nanti. Seorang hamba akan ditanya tentang tiga hal tadi dan apa yang dilakukan oleh ketiganya. (Lihat Tafsir al Qur’an al ‘Azhim hal 285, Syamilah)
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ لأَبِى مَسْعُودٍ مَا سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى « زَعَمُوا ». قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوا ».
Abu Abdillah yaitu Hudzaifah bertanya kepada Ibnu Mas’ud, “Apa yang pernah kau dengar dari Rasulullah tentang katanya?”. Ibnu Mas’ud berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek kendaraan yang ditunggangi seseorang adalah katanya, katanya” (HR Abu Daud no 4972 dan dinilai shahih oleh al Albani).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مِنْ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِىَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ »
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya termasuk kedustaan yang paling dusta adalah seorang yang mengaku-aku bermimpi melihat sesuatu padahal tidak” (HR Buhari no 6636). Fira adalah bentuk jamak dari firyah yang bermakna kedustaan besar yang menyebabkan orang yang mendengarnya terheran-heran.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَحَلَّمَ حُلُمًا كَاذِبًا كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَيُعَذَّبُ عَلَى ذَلِكَ ».
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengaku-aku bermimpi padahal tidak, maka (di akherat nanti) dia akan dipaksa untuk mengikat dua butir gandum dan dia disiksa dengan hal itu” (HR Ibnu Majah no 3916 dan dinilai shahih oleh al Albani)
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ » .
Dari Sahl bin Saad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang bisa menjamin bisa menjaga lisan yang ada di antara dua tulang rahangnya dan kemaluan yang ada di antara kedua kakinya maka aku jamin dia akan masuk surga” (HR Bukhari no 6109).
Mengingat hadits di atas maka seorang muslim memiliki kewajiban untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari hal-hal yang Allah haramkan dalam rangka mencari ridha Allah dan karena ingin mendapatkan pahala. Sungguh itu adalah suatu hal yang mudah bagi orang-orang yang Allah mudahkan.
Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang muslim untuk memberikan perhatian yang tinggi terhadap lisan dengan menjauhi ucapan dusta, menggunjing, adu domba dan ungkapan seronok. Intinya menjaga lisan dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan rasulNya. Terkadang ada satu kata-kata yang menyebabkan kehancuran dunia dan akherat seseorang.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يُضْحِكُ بِهَا جُلَسَاءَهُ يَهْوِى بِهَا مِنْ أَبَعْدِ مِنَ الثُّرَيَّا ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada orang yang mengucapkan suatu kata-kata agar teman-temannya tertawa namun kata-kata tersebut menyebabkan dia terjerumus (ke dalam neraka) lebih jauh dibandingkan dengan jarak ke bintang kejora” (HR Ahmad no 9209 dinilai sebagai hadits hasan li ghairihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth).
Meski dalam kesempatan lain, kata-kata yang kita ucapkan bisa menjadi sebab kebahagiaan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ » .
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada orang yang mengucapkan kata-kata yang Allah ridhai tanpa keseriusan namun kata-kata tersebut menjadi sebab Allah tinggikan kedudukan orang tersebut beberapa derajat. Sebaliknya, sungguh ada orang yang mengucapkan kata-kata yang Allah murkai tanpa keseriusan namun kata-kata tersebut menjadi sebab terjerumus ke dalam neraka” (HR Bukhari no 6113).
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ رَفَعَهُ قَالَ « إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا ».
Dari Abu Said al Khudri secara marfu (baca: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ), “Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng” (HR Tirmidzi no 2407 dan dinilai hasan oleh Al Albani).
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa seluruh anggota badan itu tunduk dan merasa hina di hadapan lisan serta menegaskan ketaatannya kepada lisan. Jika lisan bersikap lurus maka anggota badan yang lain tentu bersikap lurus. Namun jika lisan menyelisihi aturan dan menyimpang dari jalan yang lurus maka anggota badan yang lain akan ikut-ikutan.
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada sekerat daging. Jika dia baik maka seluruh badan akan baik. Jika dia rusak maka seluruh badan akan rusak. Itulah hati (HR Bukhari no 52 dan Muslim no 1599 dari anNu’man bin Basyir).
Kedua hadits di atas tidaklah bertentangan sebagaimana penjelasan ath Thibi. Beliau mengatakan, “Lisan adalah penerjemah hati dan wakil hati untuk anggota badan yang lahiriah. Maka jika dikatakan bahwa kondisi lisan itu menentukan kondisi anggota badan yang lain maka itu adalah sekedar ungkapan majaz. Sebagaimana kalimat, ‘Dokter itu menyembuhkan pasien’. Al Maidani mengatakan, ‘Seseorang iu ditentukan oleh kedua anggota badannya yang mungil’. Yang dimaksudkan adalah hati dan lisan. Artinya seorang itu akan mulia dan bermartabat dengan hati dan lisannya” (Tuhfah al Ahwadzi 6/197, Syamilah).

fitnah dan penanggulangannya

Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah. Kami memujinya. Kami memohon pertolongan kepadaNya. Kami juga memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa kami dan keburukan amal perbuatan kami.
Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Demikian pula, barang siapa yang Allah sesatkan maka tiada satupun yang bisa memberi hidayah kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata tanpa ada sekutu bagiNya

Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Semoga Allah memuji dan memberi keselamatan untuknya, keluarganya dan seluruh shahabatnya.
Wahai hamba-hamba Allah yang merupakan orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan yakinilah bahwa takwa adalah asas kebahagiaan dan jalan keberuntungan di dunia dan di akherat.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)
Yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS ath Thalaq:2).
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (٤)
Yang artinya, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam semua urusannya.” (QS ath Thalaq:4).

Hasil akhir yang baik itu selalu berpihak kepada orang-orang yang bertakwa.
Ketahuilah bahwa berbagai perkara yang mengerikan dan berbagai peristiwa yang datang silih berganti menimpa manusia itu berfungsi untuk menyingkap watak asli manusia, mengetahui sifat manusia dan memperlihatkan klasifikasi manusia dalam ketaatan kepada-Nya. Ketika ujian tiba manusia terbagi ke dalam berbagai kelompok. Di antaranya adalah sebagaimana yang Allah firmankan,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (١١)
Yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di pinggiran. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS al Hajj: 11).
Kelompok kedua adalah orang yang menyembah Allah dengan dasar ilmu, pengetahuan, iman yang kokoh dan akidah yang bersih. Jika dia mendapatkan musibah maka dia bersabar dan sabar itu yang lebih baik baginya. Setelah itu dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk melakukan berbagai sarana dan cara yang dibenarkan oleh syariat untuk membebaskan diri dari masalah dan melindungi diri dari dampak negatif masalah tersebut.
Lain halnya, jika dia mendapatkan nikmat maka dia bersyukur maka itulah yang lebih baik baginya. Setelah itu dia pergunakan nikmat tersebut untuk mentaati Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sungguh berbahagia seorang yang memiliki sifat semacam ini.

Iman yang benar dan akidah yang lurus itu memiliki pengaruh yang besar dan peran yang sangat vital untuk membantu mengatasi dan menyikapi berbagai kejadian dan musibah serta ujian yang menimpa manusia. Hal itu dikarenakan seorang yang memiliki iman dan akidah yang benar mendapatkan berbagai prinsip dan kaedah penting dari agamanya. Dengan seizin Allah, kaedah tersebut membantu orang tadi untuk bisa tetap tegar menghadapi bencana dan memiliki sikap yang tepat yang bertitik tolak dari akidah yang benar dan keimanan kepada Allah.
Dalam kesempatan kali ini akan kami sebutkan prinsip dan kaedah tersebut dalam rangka saling mengingatkan akan adanya prinsip-prinsip tersebut. Diharapkan setelah mengetahuinya seorang mukmin memiliki ilmu tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika mendapatkan ujian.

Pertama, seorang mukmin meyakini bahwa pencipta alam semesta adalah Allah. Oleh karena itu Dia memiliki hak penuh untuk mengatur makhluk ciptaan-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Dia putuskan apa yang Dia inginkan tanpa yang bisa memprotes dan menolak ketetapan-Nya. Apa yang Allah kehendaki itulah yang terjadi dan apa yang tidak Allah kehendaki tentu tidak akan terjadi. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah, zat yang maha tinggi dan maha agung. Allah berfirman
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٢٠ )
Yang artinya, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya. Dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu” (QS al Maidah:120).

Kedua, seorang mukmin yakin bahwa Allah telah memberikan jaminan untuk membela orang-orang yang beriman, menjaga agama ini, memuliakan pemeluknya dan meninggikan agama-Nya
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ (٤٧)
Yang artinya, “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman” (QS ar Ruum:47).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (٧)
Yang artinya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad:7).
Agar mendapatkan pertolongan Allah kita harus menolong agama-Nya. Kita harus bisa menundukkan jiwa dan nafsu kita sendiri. Kita harus bisa menundukkan dunia dan gemerlapnya. Kita harus beriman dan percaya kepada Allah serta memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Kita harus rutin melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Kita harus berhasil mengalahkan jiwa dan nafsu syahwat kita sendiri. Kita harus berhasil mengalahkan godaan dunia dan glamournya dengan secara tulus memberikan perhatian hati kepada Allah, menerapkan aturan-aturan-Nya pada diri kita, rutin mentaati-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Siapa yang beriman dan mentaati Allah maka Allah pasti akan menjaganya, membelanya, meneguhkan dan menjaganya dari segala bentuk keburukan.

Ketiga, sesungguhnya Allah berjanji untuk tidak menolong orang-orang kafir, menghancurkan dan menjadikan mereka sebagai materi pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Allah memberi tempo kepada orang yang zalim namun Allah itu sama sekali tidak akan membiarkan orang yang zalim. Jika Allah menyiksa orang yang zalim maka Dia akan menyiksanya dengan tiba-tiba.
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ (١٠٢ )
Yang artinya, “Dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS Huud:102).

Keempat, seorang mukmin itu yakin dengan seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa seorang itu tidak akan mati sampai ajalnya tiba dan jatah rezekinya habis.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ (٣٤)
Yang artinya, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS al A’raf:34).
Ajal itu ada batas akhirnya. Waktu hidup itu telah ditakdirkan dan terbatas. Kematian itu tidak bisa dimajukan sebagaimana juga tidak bisa ditunda. Jika seorang mukmin menyadari hal tersebut maka dia akan selalu bersiap-siap untuk mati yang merupakan awal perjumpaan dengan Allah. Seorang mukmin itu tidak akan tergoda dengan dunia bahkan dia yakin bahwa dunia itu fana dan akan meninggalkannya. Seorang itu pasti berjumpa dengan tuhan baik berumur panjang ataupun berumur pendek.

Kelima, karena demikian percaya dan bertawakal kepada Allah, seorang mukmin tidak akan terpengaruh dan merasa takut dengan berbagai propaganda. Bahkan seorang mukmin itu jika ditakut-takuti dengan berbagai sesembahan selain Allah maka dia akan semakin beriman, percaya dan yakin kepada Allah sebagaimana para sahabat.
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (١٧٣)فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ (١٧٤ )
Yang artinya, “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia[yaitu orang-orang Quraisy] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (QS Ali Imran:173-174).
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahihnya dari Abdullah bin Abbas, “Ucapan hasbunallah wani’mal wakil adalah ucapan Ibrahim, kekasih Allah ketika akan dilemparkan ke dalam api dan ucapan Muhammad ketika ada orang yang berkata kepada beliau, “Sesungguhnya manusia[yaitu orang-orang Quraisy] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” [QS Ali Imran:173].

Keenam, seorang mukmin itu selalu bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada Allah. Dia serahkan semua urusannya kepada Allah
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (٣)
Yang artinya, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath Thalaq:3).
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٣)
Yang artinya, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS al Maidah:23).
Barang siapa yang bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada Allah maka Allah akan menjaganya dan melindunginya dari segala keburukan serta segala fitnah meski demikian besar dan demikian hebat.
Dalam sebuah hadits yang hsahih disebutkan ada seorang yang mengambil pedang Nabi saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur beristirahat dalam sebuah perjalanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas terbangun dan mengarahkan pandangannya ke atas ternyata orang tersebut berdiri tepat di atas kepala Nabi sambil berkata, “Siapa yang akan melindungimu dariku?” sedangkan pedang dalam posisi terhunus di tangannya. Dengan penuh keteguhan hati dan kekuatan iman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Allah”.
Tiba-tiba pedang tersebut jatuh dari tangan orang tersebut yang segera diambil oleh Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas balik berkata, “Siapa yang akan melindungimu dariku?”.

Siapa saja yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan menjaga dan melindunginya dari berbagai mara bahaya.
Akan tetapi tawakal harus diiringi dengan melakukan usaha dengan benar dan berbagai sarana yang diperbolehkan oleh syariat. Itulah berbagai sarana yang diajarkan oleh syariat Allah agar terjaga dari fitnah dan terhindar dari berbagai keburukan. Usaha yang paling penting adalah menjaga ‘Allah’ dengan berkomitmen untuk mentaati-Nya, menjauhi larangan-Nya dan mentaati segala perintah-Nya.

Ketujuh, seorang muslim itu akan menjauhi segala penyebab timbulnya fitnah dan segala faktor pemicu terjadinya perpecahan serta demikian semangat untuk menjaga persatuan kaum muslimin, kesatuan hati mereka dan utuhnya barisan mereka untuk mentaati Allah dan mengikuti berbagai perintah-Nya.
Di antara doa ma’tsur ada yang bunyinya, “Ya Allah, perbaikilah hubungan di antara kami, satukanlah hati kami dan tunjukkanlah kepada kami jalan-jalan keselamatan”.
Seorang mukmin yang memiliki iman yang benar tentu sangat antusias untuk menjaga persatuan di antara saudara-saudaranya sesama orang yang beriman dan menjauhi sejauh-jauhnya berbagai perkara yang menyebabkan timbulnya perpecahan, percekcokan, perbedaan dan hilangnya satu kata diantara orang-orang yang beriman.

Kedelapan, tidak menyebarkan semua berita yang didengar, terlebih berita yang bisa menimbulkan kekhawatiran atau rasa aman di tengah-tengah masyarat.
Sebagian orang ketika timbul fitnah (baca: kerusuhan dan perbedaan pendapat) sangat bersemangat untuk menyebarkan berita apa pun keadaannya dan menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar tanpa mengecek berita yang benar dan berita yang salah. Demikian juga tanpa mempertimbangkan dampak yang timbul jika berita tersebut disebarluaskan.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan menyikapi adanya suatu berita.
memastikan keabsahan berita
sumber berita atau penyampai berita merenungkan dan menimbang-nimbang apakah menyebarluaskan berita itu bermanfaat bagi manusia baik dari sisi agama ataupun dunia ataukah malah menimbulkan bahaya berupa masyarakat menjadi ketakutan, merasa resah dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk berita semacam ini Allah berfirman,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣ )
Yang artinya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS an Nisa’:83).

Berdasarkan ayat ini maka jika kita mendapatkan berita yang bisa menimbulkan keresehan atau rasa aman di tengah masyarakat maka kita berkewajiban untuk tidak tergesa-gesa menyebarluaskannya di tengah masyarakat. Kita memiliki kewajiban untuk mengembalikannya kepada rasul yaitu kepada sunah rasul dan mengembalikannya kepada ulil amri yaitu para ulama yang memiliki ilmu, pengetahuan dan pemahaman yang mendalam. Jika memang menyebarkan berita tersebut bermanfaat untuk umat tentu para ulama akan menyarankannya. Jika tidak maka para ulama akan melarang kita untuk memupublikasikannya supaya kita tidak menanggung beban tanggung jawabnya yang berupa menyakiti banyak pihak karena tersebarnya berita tersebut.
Oleh karena itu terdapat riwayat shahih dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan, “Janganlah kalian menjadi orang-orang yang ‘ujulan, madzaayi’ dan budzron. Sesungguhnya di belakang kalian terdapat bencana yang menyakitkan”.

Yang dimaksud dengan ‘ujulan adalah orang yang suka tergesa-gesa dalam berbagai perkara dan tidak mau bersikap tenang.
Sedangkan madzayi’ adalah orang yang suka dan bersemangat besar untuk menyebarkan berita apapun kondisinya.
Adapun budzron adalah orang yang menebar perpecahan dan berbagai sebab perpecahan dan konflik di tengah-tengah masyarakat.

Kesembilan, urgensi berkonsultasi dengan para ulama yang mendalam ilmunya dengan bertanya kepada mereka, sejalan dengan perkataan mereka, memperhatikan wejangan-wejangan mereka dan tidak menentang mereka. Tidak semua orang boleh berbicara tentang masalah agama karena hal itu adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya dan benar-benar memahami agama. Merekalah orang-orang yang mengetahui hukum halal dan haram serta mengusai hukum-hukum agama secara umum. Merekalah orang-orang yang menetapkan hukum berdasarkan firman Allah dan sabda rasul-Nya.
Orang yang paling berani dalam memberi fatwa adalah orang yang paling berani untuk masuk neraka.
Karenanya pada saat terjadi fitnah (baca: perselisihan paham yang sengit) kita berkewajiban untuk berkonsultasi dengan para ulama, mengambil manfaat dari ilmu mereka dan sejalan dengan perkataan mereka serta tidak berani berbicara dalam bidang yang tidak dikuasai.
Diantara tanda baik keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna dan tidak membicarakan bidang yang tidak dikuasai dengan baik. Hal ini dilakukan dalam rangka agar tidak membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa yang mengarahkan orang lain pada perkara yang tidak benar maka dosanya itu ditanggung oleh yang mengarahkan”.
Kesepuluh, seorang mukmin itu menyakini bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, mendengar seruan dan mengabulkan doa mereka, menolong orang yang kesusahan dan menghilangkan kesulitan.
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٦٢)
Yang artinya, “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” (QS an Naml:62).

Seorang mukmin itu yakin bahwa Allah itu dekat dengan-Nya, mendengar doanya, akan mewujudkan harapannya dan memberikan permintaannya. Oleh sebab itu seorang muslim sering mengadu kepada Allah dengan penuh ketulusan dan dengan berulang kali agar kaum muslimin dijauhkan dan dipalingkan dari berbagai fitnah. Serta berdoa agar Allah memberikan untuk negeri kaum muslimin rasa aman, keimanan, keselamatan dan keislaman serta terjaga dari berbagai keburukan dan bencana. Doa adalah kunci segala kebaikan di dunia dan di akherat.
Kami memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang luhur agar Allah meneguhkan hati kita semua untuk selalu mentaatiNya, melindungi kita semua dari berbagai fitnah yang yang nampak ataupun yang tersembunyi, menjaga agama, keamanan dan keimanan kita. Semoga Allah tidak memasrahkan kita kecuali hanya kepada-Nya dan melindungi kita dari berbagai mara bahaya yang ditimbulkan oleh musuh.
Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka.
Terdapat suatu hadits dalam Sunan Abu Daud bahwa Nabi jika merasa takut dengan sekelompok orang maka beliau akan berdoa, “Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka”.
Yang bisa kami sampaikan adalah apa yang telah kalian dengar. Aku memohon ampunan untukku dan kalian serta seluruh kaum muslimin dari seluruh dosa.
Mohonlah ampunan kepada-Nya niscaya Dia akan mengampuni kalian sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penyayang.

Khutbah Kedua

Segala puji itu milik Allah. Dialah dzat yang memiliki kebaikan yang sangat besar dan anugrah serta kedermawanan yang sangat luas.
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata, tanpa ada sekutu baginya.
Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan untuknya, keluarganya dan semua shahabatnya.
Wahai hamba-hamba Allah, bertakwalah kalian kepada Allah. Siapa saja yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan melindunginya dan membimbingnya untuk melakukan yang terbaik dalam masalah agama dan dalam masalah dunia.

Ketahuilah bahwa takwa adalah asas keselamatan dalam menghadapi berbagai fitnah, jalan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akherat.
Ketika terjadi fitnah di zaman tabiin sebagian orang menemui Thalq bin Habib lantas bertanya kepadanya, “Bagaimana cara melindungi diri dari fitnah dan menyelamatkan diri dari keburukan fitnah?”
Thalq mengatakan, “Lindungilah diri kalian dari fitnah ini dengan bertakwa kepada Allah”.
Mereka bertanya, “Tolong jelaskan kepada kami apa itu takwa!”.
Beliau mengatakan, “Bertakwa kepada Allah adalah menjalankan ketaatan kepada Allah dengan dasar iman kepada Allah karena mengharap pahala dari Allah serta meninggalkan berbagai bentuk maksiat kepada Allah dengan dasar iman kepada Allah karena merasa takut dengan siksa-Nya”.

Betapa agungnya jalan takwa. Betapa mulia pengaruhnya. Betapa banyak manfaat takwa bagi pemiliknya di dunia dan di akherat.
Hendaknya kita hadapi berbagai fitnah dengan bertakwa kepada Allah. Caranya kita berkomitmen untuk mentaati-Nya, rutin beribadah kepada-Nya dan kita jauhi berbagai kemaksiatan agar dijaga, dibantu dan ditolong oleh Allah.
Moga Allah menjadikan kita semua sebagai bagian dari orang-orang yang bertakwa dan melindungi kita semua dari segala keburukan dan mala petaka. Sungguh Dia adalah maha mendengar dan maha mengabulkan doa.
Hendaknya kalian mengucapkan sholawat dan salam untuk Muhammad bin Abdillah sebagaimana yang Allah perintahkan dalam kitab-Nya
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Yang artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS al Ahzab:56).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang bershalawat untukku sekali maka Allah akan bershalawat untuknya sebanyak sepuluh kali”.

Ya Allah, berikanlah shalawatMu untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat untuk Ibrahim dan untuk keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau itu maha terpuji dan maha agung. Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi berkah untuk Ibrahim dan untuk keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau itu maha terpuji dan maha agung.
Ya Allah berikan ridhoMu untuk empat khulafaur rasyidin yang mendapatkan hidayah yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali. Demikian pula ya Allah berikanlah ridhoMu untuk semua shahabat dan tabiin serta semua orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat nanti. Demikian juga berikanlah ridhoMu untuk kami dengan anugrah, kemurahan dan kebaikanMu, wahai zat yang maha pemurah.
Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum muslimin.
Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum muslimin.
Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum muslimin dan hinakanlah kemusyrikan dan para pelakunya, hancurkanlah para musuh agama dan lindungilah daerah kaum muslimin wahai pemilik semesta alam.
Ya Allah, tolonglah orang yang menolong agama-Mu.
Ya Allah, tolonglah orang yang menolong agama-Mu.
Ya Allah, tolonglah orang yang menolong agama-Mu.
Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami, kaum musliman yang berjihad di jalan-Mu yang berada di semua tempat.
Ya Allah, tolonglah mereka dengan pertolongan yang kuat.
Ya Allah kuatkanlah mereka dengan bantuan-Mu dan jagalah mereka dengan penjagaan-Mu, lindungilah mereka dengan perlindungan dan perhatian-Mu, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah bereskanlah musuh-musuh agama karena mereka tidak akan mampu mengalahkan-Mu.
Ya Allah cabik-cabiklah mereka sehancur-hancurnya.
Ya Allah, buatlah hati mereka berselisih dan cerai beraikan persatuan di antara mereka dan timbulkanlah rasa takut di hati mereka, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka.
Ya Allah, berikanlah rasa aman untuk kami di negeri kami sendiri dan perbaikilah para penguasa dan pemimpin kami.
Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami adalah orang yang merasa takut dan bertakwa kepada-Mu serta mengikuti ridho-Mu wahai pemilik alam semesta.
Ya Allah, berilah taufik kepada penguasa kami untuk melakukan apa yang Kau cintai dan Kau ridhoi, bantulah mereka untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan, bimbinglah perkataan dan tindak tanduk mereka, berilah mereka kesehatan badan dan afiat, berikanlah untuk mereka para pembisik yang baik dan yang menghendaki kebaikan untuknya, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah berikan taufik-Mu kepada semua penguasa kaum muslimin agar mengamalkan kitab-Mu dan mengikuti sunah Nabi-Mu, Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan jadikanlah mereka wujud kasih sayang-Mu untuk hamba-hamba-Mu yang beriman.
Ya Allah, berilah mereka pemikiran yang benar dan perkataan yang tepat yang bermanfaat untuk Islam dan kaum muslimin, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwa kami ketakwaan. Sucikanlah jiwa kami. Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikan jiwa karena Engkau adalah zat yang mengatur jiwa manusia.
Ya Allah, perbaikilah agama kami yang merupakan pegangan hidup kami. Perbaikilah dunia kami karena di sanalah kami hidup. Perbaikilah akherat kami karena ke sanalah kami akan kembali. Jadikanlah hidup kami di dunia ini sebagai tambahan kebaikan untuk kami dan jadikanlah kematian sebagai sarana istirahat kami dari berbagai keburukan.
Ya Allah perbaikilah hubungan di antara kami, satukanlah hati kami dan tunjukilah kami jalan-jalan menuju keselamatan, keluarkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya.
Berkahilah pendengaran kami, penglihatan kami, istri-istri kami, harta kami, anak keturunan kami dan jadikanlah kami orang-orang yang diberkahi dimana saja kami berada.
Ya Allah, ampunilah seluruh dosa kami baik yang kecil apalagi yang besar, yang dahulu ataupun belakangan, yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.
Ya Allah, ampunilah apa yang telah kami lakukan dan apa yang belum kami lakukan, apa yang kami lakukan dengan sembunyi-sembunyi maupun yang kami lakukan dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih tahu dari pada kami. Engkaulah yang memajukan dan Engkaulah yang mengundurkan. Tiada sesembahan yang pantas disembah melainkan diri-Mu.
Ya Allah, ampunilah dosa orang yang punya dosa di antara kaum muslimin, terimalah taubat dari orang-orang yang bertaubat.
Ya Allah hilangkanlah kesusahan orang yang susah dan penderitaan orang-orang yang menderita, lunasilah hutang dari orang-orang yang berhutang serta sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kami dan semua kaum muslimin yang sakit.
Ya Allah kami memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan rizki.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu hidayah dan tindak tanduk yang benar.
Ya Allah, kami memohon perlindungan dengan ridho-Mu dari murka-Mu, dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu, dengan-Mu dari-Mu. Kami tidak mampu menyanjung-Mu sebagaimana sanjungan yang Kau berikan untuk diri-Mu sendiri.
Ya Allah sesungguhnya kami memohon ampun kepadaMu. Sungguh Engkau adalah maha pengampun. Oleh karena itu turunkanlah hujan yang deras kepada kami.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami.
Ya turunkanlah hujan yang manfaat, berlimpah dan penuh kebaikan kepada kami. Janganlah Kau turunkan hujan yang membahayakan kami baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang.
Ya Allah suburkan hati kami dengan iman dan suburkanlah negeri kami dengan hujan.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami dan janganlah Kau jadikan kami sebagai orang-orang yang berputus asa.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami dan janganlah Kau jadikan kami sebagai orang-orang yang berputus asa.
Ya Allah, janganlah Kau hukum kami disebabkan perbuatan orang-orang yang usil di antara kami.
Ya Allah, kabulkanlah doa kami, wujudkanlah harapan kami dan berikanlah apa yang menjadi permintaan kami, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Bukankah Engkau telah berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦)
Yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS al Baqarah:186).
Ya Allah, kami telah beriman dan kami telah memenuhi perintah-Mu.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami.
Ya Allah berilah kenikmatan dari kami, janganlah Kau cegah kami dari kenikmatan, tambahilah nikmat untuk kami dan janganlah Kau kurangi, utamakanlah kami dan janganlah Kau utamakan orang lain dari pada kami.
Seruan kami yang terakhir adalah ucapan alhamdu lillahi rabbil ‘alamin.
Moga Allah memuji, memberi keselamatan, keberkahan dan nikmat untuk hamba Allah dan utusanNya yaitu nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh shahabatnya.

Khutbah Jum’at Syaikh ‘Abdur Rozaq bin Abdil Muhsin Al Abbad Al Badr, tanggal 18 Muharram 1424 H

Catatan:
Yang dimaksud dengan istilah fitnah dalam hal ini adalah makna fitnah dalam bahasa Arab yang bisa berarti ujian berupa musibah, kerusuhan dan perselisihan yang tajam di tengah-tengah masyarakat. Ini semua tergantung konteks kalimat yang ada.

Penerjemah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Saturday, 17 April 2010

cara menyucikan najis

Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.
1 – Menyucikan kulit bangkai[1] dengan disamak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”[2]
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]
2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing[6]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [7]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “سَبْع مَرَّات”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut “سَبْع مَرَّات أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ”, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “سَبْع مَرَّات السَّابِعَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “سَبْع مَرَّات وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[8]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing.[9]
3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ. قَالَ « فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّى فِيهِ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ قَالَ « يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ »
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يَكُونُ فِى الثَّوْبِ قَالَ « حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ».
“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.”[14]
4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,
إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ.
“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[15]
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad[16] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kita perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.”[17]
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.[18]
5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan
Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup dengan diperciki.”[19]
Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda.[20]
Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut.
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ بْنِ مِحْصَنٍ قَالَتْ دَخَلْتُ بِابْنٍ لِى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ.
“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).”[21]
Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan, pen).”[22]
6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata,
كُنْتُ أَلْقَى مِنَ الْمَذْىِ شِدَّةً وَكُنْتُ أُكْثِرُ مِنْهُ الاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّمَا يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءُ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيبُ ثَوْبِى مِنْهُ قَالَ « يَكْفِيكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تُرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ ».
“Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi’.” [23]
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan bahwa jika madzi cuma diperciki saja, maka itu sudah cukup untuk menghilangkan najisnya. … Ini menunjukkan bahwa memercikinya termasuk kewajiban. Madzi adalah najis yang ringan, sehingga diberi keringanan cara menyucikannya.”[24]
Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.
7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat kotoran.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
« إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِى نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا »
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya.”[25]
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal[26]. Hadits ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis (ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup yang basah atau pun yang kering. Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu, jika seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun terus melanjutkan shalatnya.”[27]
8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »
“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit”.” [28]
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya, maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau berkata,
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut.”[29]
Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan pendapat baru dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air, tidak boleh berpaling pada yang lainnya kecuali jika ada dalil.
Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad, pendapat yang lama dari Imam Asy Syafi’i[30], pendapat Ibnu Hazm[31], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[32] dan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin[33] bahwa diperbolehkan menghilangkan najis dengan cara apa pun dan tidak dipersyaratkan menggunakan air. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.
Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:
Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.
Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada beberapa perkara tertentu, namun syariat tidak memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.
Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air. Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran ketika buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah. Begitu pula membersihkan ujung pakaian wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah kami sebutkan.
Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut sudah dianggap hilang.
Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka, maka ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.[34]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis kapan saja ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika illah (sebab)-nya telah hilang, maka hilang pula hukumnya. Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis tanpa ada keperluan karena dalam hal ini menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan keduanya.”[35]
Demikian penjelasan kami mengenai cara membersihkan najis sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis. Dalam tulisan selanjutnya kita akan mengupas beberapa hal yang dianggap najis padahal bukan. Semoga Allah memudahkan.
Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, 27 Shofar 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.
[2] HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[3] Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas.
[4] Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
[5] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[6] Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.
Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)
[7] HR. Muslim no. 279
[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[9] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95.
[10] Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/219.
[11] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[12] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[14] HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[16] Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H)
[17] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[18] Idem.
[19] HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasa’i no. 304. Syaikh Al Albani dalam Al Jami Ash Shogir wa Ziyadatuhu mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[20] Lihat Tawdhihul Ahkam, Syaikh Ali Basam, 1/176-177, Darul Atsar
[21] HR. Bukhari no. 5693 dan Muslim no. 287.
[22] Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214.
[23] HR. Abu Daud no. 210, Tirmidzi no. 115, dan Ibnu Majah no. 506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[24] As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, 1/35, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[25] HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud bahwa hadits ini shohih.
[26] Dengan catatan, shalat dengan sandal boleh dilakukan jika memungkinkan disesuaikan dengan kondisi tempat shalat. Jika zaman sekarang ini, masjid dilengkapi dengan lantai keramik, maka sudah seharusnya tidak menggunakan sendal di dalam masjid. Sunnah ini bisa dilakukan ketika di luar masjid seperti ketika bersafar.
[27] Subulus Salam, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/137, Maktabah Musthofa, cetakan keempat, tahun 1379.
[28] HR. Bukhari no. 220
[29] HR. Bukhari no. 174
[30] Lihat penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86.
[31] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 1/92, Mawqi’ Ya’sub.
[32] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/475, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[33] Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, hal. 176.
[34] Lihat penjelasan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86-87.
[35] Majmu’ Al Fatawa, 21/475.
DOWNLOAD MATERI SARASEHAN DAN DIALOG PENEGUHAN AMAL DENGAN ILMU SEPUTAR 'IDUL ADHA DI SINI .BAGI ANDA YANG INGIN MENGETAHUI KRETERIA HEWAN/DAGING YANG SEHAT DAN SAKIT SERTA MANFA'AT DAN MADLOROTNYA ANDA BISA MEN DOWNLOAD NYA DI SINI