Friday, 18 June 2010

Kumpulan Aplikasi Mobile



Bagi teman-teman yang mau donload applikasi islami untuk hp silahkan klik link di bawah ini. semoga bermanfaat...

  1. Panduan Sholat Praktis
  2. Hadits, Doa-Doa, dan Yasin Terjemahan bhs Indonesia
  3. Dzikir Mobile
  4. Al-Quran Terjemah pro
  5. Al-Quran Terjemah Non Pro
  6. Al-Quran with Audio Surah 90-114
  7. 99 Doa Muslim
  8. ASGATech Quran v.304.zip (symbian Only)
  9. Plugin TAFSEER for ASGATech Quran.sis
  10. Plugin AUDIO for ASGATech Quran (full 114 Surah )
  11. Hadits Arba'in (40 hadist utama)
  12. Hadits Reader Bukhori
  13. Yaasin (Audio+arabic)
  14. Asmaa AlHusna
  15. PDF file Holly Quran
  16. zakat Calculator
  17. SSunah
  18. Al-Quran Al-Farsi
  19. Mobile Pocket Muazzin
  20. Al-Mushaf
  21. Islamic Puzzle
  22. Al-Hadits 50
  23. Ad-dua
  24. Al-aazan
  25. ?????????
  26. Yasin Arabic
  27. Tini Quran
  28. Quran dan Audio ID
  29. Pocket Al-Quran
  30. Qowaa'id

Makna syahadat Muhammad Rosululloh

Author: redaksi | Files under Aqidah | Print Artikel Ini Print Artikel Ini

Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc.

PERTANYAAN

Syahadat ini sangat dihafal oleh kaum muslimin. Kalimatnya begitu pendek dan sederhana tetapi terwariskan secara turun temurun. Namun, tidak sedikit yang tidak tahu-menahu tentang kedalaman makna hakiki yang dikandungnya dan konsekuensi yang mesti tertanam dalam lubuk hati pengucapnya. Olehnya itu, bagaimana agama menjelaskannya?

JAWABAN

Syahadat La Ilaha Illallah dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah satu rukun yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, dan keduanya menjadi satu rukun walaupun terdiri dari dua bahagian. Sebab seluruh ibadah dibangun di atas keduanya, maka tidaklah diterima ibadah itu kecuali ikhlas untuk Allah ‘Azza Wa Jalla, dan ini adalah kandungan dari syahadat La Ilaha Illallah, dan ittiba’ ‘mengikuti’ Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dan ini adalah kandungan dari syahadat Muhammad Rasulullah. Karena itu, mengetahui makna, kandungan dan konsekuensi (keharusan) syahadat Muhammad Rasulullah sangatlah penting sebagaimana syahadat La Ilaha Illallah. Seseorang, kalau mau masuk Islam, harus mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut, kemudian wajib memahami dan mengamalkan kedua syahadat tersebut lahir dan batin, dan wajib mengulangi kedua syahadat tersebut minimal sembilan kali dalam sehari semalam.

Syahadat Muhammad Rasulullah,atau dengan redaksi yang lebih lengkap Muhammad ‘Abdullahi wa Rasuluhu ‘Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya’, mempunyai dua dasar pokok yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan.
Pokok pertama , menyamakan kedudukan Muhammad sama dengan semua makhluk di hadapan Allah walaupun derajatnya berbeda.

Pokok kedua , membedakan kedudukan Muhammad dengan mahluk yang lain karena beliau adalah seorang rasul.

Hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah Jalla Jalaluhu dalam akhir surah Al-Kahfi,

“Katakan (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa sepeti kalian yang diberikan wahyu kepadaku bahwasanya sesembahan kalian hanyalah sesembahan yang Esa.’.” [ Al-Kahfi: 110 ]

Kemudian dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ…

“Siapa yang bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada serikat bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya ….”

Juga dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , ketika mengajarkan tasyahud kepada para shahabatnya, seperti ‘Abdullah bin Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim , Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Muslim , dan Abu Musa Al-Asy’ary dalam Shahih Muslim , terdapat kalimat syahadatain yaitu,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”

Kedudukan Muhammad Sebagai Hamba

Berkata Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah Alu Syaikh, “Hamba maknanya adalah yang dimiliki, yang menyembah, yaitu dimiliki oleh Allah Ta’ala dan tidak mempunyai sedikit pun sifat-sifat Rububiyah dan Uluhiyah. Sesungguhnya dia (Muhammad) hanyalah seorang hamba yang dekat di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.” Lihat Taisir Al-’Aziz Al-Hamid hal. 81-82.

Jadi, kalau dia seorang hamba (budak), tidak boleh disembah (diibadahi) melainkan harus menyembah, dan kalau dia dimiliki, tidak boleh dimintai sebab syarat untuk dimintai adalah harus memiliki (Al-Malik). Karena itu, dia tidak mampu memberi manfaat atau mudharat, bahkan dia hanya meminta manfaat kepada Allah berupa hidayah, harta, ilmu, dan sebagainya, serta berlindung pada-Nya dari segala kejelekan (mudharat) makhluk-Nya.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, “Dan keharusan dari syahadat ini adalah tidak boleh diyakini bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam punya hak dalam Rububiyah dan mengatur alam semesta atau punya hak dalam ibadah (hak untuk disembah). Bahkan dia (Rasulullah) seorang hamba, tidak disembah, dan Rasul tidak didustakan dan tidak memiliki sedikit pun kemampuan untuk memberi manfaat ataupun mudharat, baik kepada dirinya ataupun selain dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki sebagaimana firman Allah,

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak mengatakan kepada kalian, bahwa di sisi saya perbendaharaan Allah, dan tidak (pula) saya mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) saya mengatakan kepada kalian bahwa saya seorang malaikat. Saya tidaklah mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’.” [ Al-An’am: 50 ]

Maka dia selaku hamba diperintahkan untuk mengikuti apa-apa yang diperintahkan dengannya. Kemudian firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya saya tidak memiliki bagi kalian mudharat dan tidak pula petunjuk.’.” [Al-Jin: 21]

Juga firman Allah Ta’ala,

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Saya tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya saya mengetahui yang ghaib, tentulah saya membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan saya tidak akan ditimpa kemudharatan. Saya tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’.” .”

Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 71.

Akan tetapi Allah menjadikan ‘ubudiyah ‘penghambaan’ sebagai sifat kesempurnaan makhluk-Nya dan menjadikan makhluk-Nya sebagai makhluk yang paling dekat kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Al-Masih sekali-sekali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak pula malaikat-malaikat terdekat-Nya. Barangsiapa yang enggan dari menyembah - Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada - Nya.” [ An-Nisa: 172 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba Kami Daud.” [ Shad: 17 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub.” [ Shad: 41 ]

Juga firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub.” [ Shad: 45 ]

Juga firman-Nya,

“Dan Kami telah berikan kepada Daud, Sulaiman sebaik-baik hamba.” [ Shad: 30 ]

Allah menyifatkan makhluk-makhluk-Nya yang paling mulia dan yang paling tinggi kedudukannya di antara makhluk-makhluk-Nya dengan ‘Ubudiyah pada kedudukannya yang paling mulia.

Allah juga menyebutkan sifat ‘Ubudiyah pada kedudukan diturunkannya Al-Kitab kepada hamba-Nya dan menantang untuk mendatangkan sepertinya sebagaimana firman-Nya,

“Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami maka datangkanlah satu surah semisalnya.” [ Al-Baqarah: 25 ]

Juga firman-Nya,

“Maha berkah Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya.” [ Al-Furqan: 1 ]

Juga ayat-ayat lain yang semakna.

Allah menyebutkan sifat ‘Ubudiyah dalam kedudukan beribadah pada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan sesungguhnya tatkala hamba Allah berdiri, berdoa kepada-Nya ….” [ Al-Jin: 19 ]

Kemudian Allah menyebutkan hamba-Nya dengan ‘ubudiyah pada kedudukan Isra`,

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada satu malam.” [ Al-Isra`: 1 ]

Selain itu, Allah menjadikan kabar gembira secara mutlak kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [ Az-Zumar: 17-18 ]

Allah juga menjadikan rasa aman secara mutlak bagi hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Wahai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadap kalian pada hari ini dan tidak pula bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka dahulu adalah orang-orang yang berserah diri.” [ Az-Zukhruf: 68-69 ]

Allah tidak memberi keleluasaan kepada syaithan untuk menguasai mereka (hamba-hamba-Nya) secara khusus kecuali yang mengikuti syaithan dan berbuat syirik kepada-Nya sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagi kamu untuk mereka kecuali siapa yang mengikuti kamu dari orang-orang yang sesat.” [ Al-Hijr: 42 ]

Juga firman-Nya,

“Sesungguhnya tidak ada kekuasaan baginya (syaithan) atas orang-orang yang beriman dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. Sesungguhnya kekuasaannya (syaithan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan orang-orang yang mempersekutukan Allah dengannya.” [ An-Nahl: 99-100 ]

Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menjadikan ihsan ‘ubudiyah sebagai tingkatan paling tinggi dalam beragama, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Al-Khattab, yang terkenal dengan “hadits Jibril”, yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ditanya oleh Jibril tentang ihsan, beliau menjawab, “Kamu menyembah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”

Baca Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 115-117.

Akan tetapi, ada satu hal yang sangat penting untuk diketahui, yaitu ‘ubudiyah kepada Allah tidak akan lepas (berhenti) dari seorang hamba selama hamba hidup di dunia, bahkan di alam barzakh dan di hari kemudian, walaupun ‘ubudiyah di dunia tentunya berbeda dengan ubudiyah di alam barzakh apalagi di hari kemudian. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya,

“Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu keyakinan.” [ Al-Hijr: 99 ]

Juga firman-Nya kepada penduduk neraka,

“Dan dahulu kami mendustakan hari kemudian sampai datang kepada kami keyakinan.” [ Al-Muddatstsir: 46-47 ]

Keyakinan yang dimaksud adalah kematian menurut kesepakatan para ulama Ahli Tafsir.

Juga di dalam Shahih Al-Bukhary tentang kisah kematian ‘Utsman bin Mazh’un, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Adapun ‘Utsman maka sesungguhnya telah datang kepadanya keyakinan dari Rabb-nya, yaitu kematian.”

Barangsiapa yang menyangka bahwasanya dia telah sampai pada kedudukan, yakni telah gugur pada dirinya kewajiban untuk menyembah, maka dia zindiq, kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab sesungguhnya dia telah sampai pada kedudukan kafir kepada Allah dan berlepas diri dari agama ini. Bahkan, seorang hamba, jika kedudukan dia semakin kuat dan kokoh dalam penghambaan, maka ‘ubudiyah-nya juga semakin besar dan kewajiban dari ‘ubudiyah-nya juga semakin banyak dan lebih besar daripada orang yang berada dibawahnya. Oleh karena itu, kewajiban Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , bahkan semua rasul, lebih besar dan lebih banyak daripada umat-umat mereka, kewajiban rasul-rasul Ulul ‘Azmi lebih banyak daripada rasul-rasul selain Ulul ‘Azmi, kewajiban Ahlul ‘Ilmi lebih besar daripada selain Ahlul ‘Ilmi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap hamba tergantung pada kedudukannya (martabatnya).

Lihat Madarij As-Salikin jilid 1 hal. 118.

Kedudukan Muhammad Sebagai Rasul (Nabi)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah menetapkan bahwasanya kenabian adalah pilihan dari Allah. Allah memilih nabi untuk hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Allah menghususkan nabi-Nya dengan rahmat-Nya, memilih nabi-Nya dengan keutamaan dan nikmat-Nya, dan bukan sekedar sifat-sifat tambahan, karena rahmat, keutamaan, dan nikmat-Nya terhadap nabi-Nya tidak bisa diperoleh dengan ilmu, latihan, banyaknya ibadah dan ketaatan, dan sebagainya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat (kenabian)-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [ Al-Baqarah: 105 ]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Dia memilih utusan-utusan dari para malaikat-Nya dan juga dari manusia. Dan إصطفاء ber-wazan إفتعال dari kata تصفية ‘pensucian’ sebagaimana إختيار ber-wazan افتعال dari kata الخيرة ‘pemilihan’, maka Dia mensucikan dan memilih siapa yang Dia inginkan sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 124,

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”

Maka Dia lebih tahu siapa yang pantas dijadikan utusan (rasul) dari (kalangan manusia) yang tidak dijadikan-Nya utusan.” Lihat Minhaj As-Sunnah 5/437.

Di tempat yang lain, beliau berkata, “Allah membersihkan/memilih dari malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan dan dari manusia. Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia memberikan risalah-Nya, maka Allah menghususkan nabi-Nya dengan sifat-sifat yang membedakan nabi-Nya dengan makhluk lain dalam hal akal dan agama, dan nabi-Nya dipersiapkan untuk dikhususkan dengan keutamaan dan rahmat-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zukhruf ayat 31-32,

“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar (pada salah satu) dari dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” . ”

Lihat Minhaj As-Sunnah 2/416. Perhatikan pula firman Allah dalam surah Al-Jin ayat 20-25.

Kedudukan Muhammad sebagai seorang rasul tidak boleh disamakan dengan kedudukan hamba Allah yang lain. Karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa didahulukannya kata عبده ‘hamba-Nya’ daripada kata رسوله ‘rasul-Nya’ dalam kalimat syahadat Muhammad Rasulullah adalah sebagai tanjakan dari bawah ke atas, dan dikumpulkannya kedua kata tersebut (hamba dan Rasul-Nya) adalah untuk menghindari dua kutub yang berbeda: kutub ifrath (ekstrim/berlebih-lebihan) dan kutub tafrith (menyepelekan), sebagaimana yang telah terjadi pada Isa ‘ alaihis salam , dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menguatkan makna ini dengan sabdanya dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nashara berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam, karena sesungguhnya saya hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid hal. 82)

Orang-orang Nashara melakukan ifrath, berlebih-lebihan dalam memuliakan dan memuji Nabi Isa, dan berbanding terbalik dengan cara orang-orang Yahudi yang melakukan tafrith dalam bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Nabi Isa.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah menetapkan, (dengan perbuatan) melalui lisan dan (dengan) iman melalui hati, bahwasanya Muhammad bin ‘Abdullah Al-Qurasy Al-Hasyimy adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [ Adz-Dzariyat: 56 ]

Tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan perantara wahyu yang Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam telah datang dengan wahyu tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur`an) kepada hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” [ Al-Furqan: 1 ]. ”

Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, dalam Al-Ushul Ats-Tsalatsah , menetapkan empat perkara yang merupakan konsekuensi (keharusan dan tuntutan) dari makna syahadat Muhammad Rasulullah:

Pertama, menaati Rasulullah pada apa yang beliau perintahkan.

Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan wajibnya taat kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam di dalam Al-Qur`an dan sunnah, serta menggandengkan antara ketaatan pada-Nya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya di dalam banyak ayat, di antaranya,

“Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.” [ Al-Anfal: 1 ]

Juga di dalam firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya sedang kalian mendengar (perintah-perintah-Nya).” [ Al-Anfal: 20 ]

Siapa yang durhaka kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepada Allah maka tempatnya adalah neraka, sebagaimana firman-Nya,

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang sangat besar.” [ An-Nisa`: 13 ]

Kemudian dalam ayat berikutnya,

“Siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batasan-batasan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, dia kekal di dalamnya dan baginya adzab yang menghinakan.” [ An-Nisa`: 14 ]

Selain itu, dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدَ أَبَى

“Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Siapa yang menaatiku maka dia masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka sesungguhnya dia enggan.’.”

Lalu, dalam hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, disebutkan,

فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَى مُحَمَّداً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ عَصَى اللهَ

“Siapa yang menaati Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah menaati Allah, dan siapa yang mendurhakai Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam maka sesungguhnya dia telah mendurhakai Allah.”

Kedua, membenarkan apa yang Rasulullah kabarkan/beritakan.

Sesungguhnya apa yang Rasulullah bawa semuanya adalah benar, karena merupakan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya,

“Dan dia ( Rasulullah) tidak berbicara dari hawa nafsunya, kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” [ An-Najm: 3-4 ]

Juga Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [ Az-Zumar: 33 ]

Kemudian dalam surah lain,

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, saksikanlah, (wahai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.’.” [ Âli ‘Imran: 81 ]

Juga ijma’ para ulama bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itu ma’shum ‘terjaga’ dari dusta.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah -nya, “Kemudian rasul-rasul yang benar dan dibenarkan.”

Ketiga, menjauhi apa yang Rasulullah larang dan peringatkan, sebagaimana firman Allah Ta’ala ,

“Dan apa yang Rasululah datangkan kepada kalian maka ambillah, dan apa yang dilarang atas kalian darinya maka jauhilah, dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.” [ Al-Hasyr: 7 ]

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْىءٍ فَاجْتَنَبُوْهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan jika saya melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan jika saya memerintah kalian kepada sesuatu maka datangkanlah (lakukanlah) sesuai kemampuan kalian.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ary yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim,

إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ يَا قَوْمِ إِنِّيْ رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنَّيْ أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلىَ مَهْلِهِمْ فَنَجَوْا وَكَذِبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِيْ فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِيْ وَكَذَبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ

“Sesungguhnya perumpamaan aku dan perumpumaan apa yang Allah mengutus aku dengannya, seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum kemudian berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya saya melihat pasukan dengan kedua mataku dan sesungguhnya saya adalah An-Nadzir Al-‘Uryan ‘pemberi peringatan yang telanjang’,’ maka sekelompok dari kaumnya menaatinya dan bergegas berjalan di malam hari dengan kehati-hatian dan mereka selamat, sementara sekelompok dari mereka mendustakannya, sehingga mereka tetap di tempatnya, maka pasukan itu menyerangnya di waktu Shubuh, lalu menghancurkan dan membinasakannya. Yang demikian itu perumpamaan orang yang menaatiku dan mengikuti apa yang aku didatangkan dengannya, dan perumpamaan orang yang bermaksiat kepadaku dan mendustakan apa yang aku didatangkan dengannya dari kebenaran.”

An-Nadzir Al-‘Uryan adalah perumpamaan yang dipakai oleh orang-orang untuk menunjukkan kebenaran apa yang ia sampaikan.

Keempat, tidak menyembah Allah ‘Azza wa Jalla kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, bukan dengan bid’ah, bukan pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan, atau anggapan-anggapan yang seseorang pandang baik, karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syariat. Nanti dikatakan ibadah kalau disyariatkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Maka siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan Rabb-nya dengan siapa pun dalam peribadahan.” [ Al-Kahfi: 110 ]

Para ulama menafsirkan bahwa amal shalih adalah amal yang sesuai dengan syariat Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” [ Al-Maidah: 3 ]

Ayat ini menunjukkan bahwasanya agama ini telah sempurna dengan tauhid, syariat, akhlak, dan seluruh apa yang dibutuhkan oleh makhluk di muka bumi ini. Itulah nikmat yang paling besar. Al-Qur`an dan petunjuk Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam itulah yang diridhai di sisi Allah. Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini, dan mensyariatkan suatu syariat yang tidak disyariatkan oleh Allah dan menjadikan syariat tersebut sebagai jalan selain jalan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka sesungguhnya dia telah melecehkan Allah atau kitab-Nya, baik dalam keadaan sadar maupun tidak, karena sesungguhnya Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah menyempurnakan agama-Nya. Kebaikan dan nikmat terdapat dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam serta sikap berpegang teguh terhadap Kitabullah dan sunnah tersebut.

Sebagai kesimpulan, berkata Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Maka, dengan ini, kamu mengetahui bahwasanya tidak berhak ibadah itu diperuntukkan. Tidak kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , tidak pula kepada selainnya dari seluruh makhluk. Ibadah itu tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya kepada Allah semata.

Dan bahwasanya hak Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam adalah, kamu memberikan kedudukan kepadanya sesuai dengan kedudukan yang Allah berikan/tetapkan padanya, yaitu sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya.” Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 72.

Wallahu waliyyut taufik.
sumber: http://an-nashihah.com/?p=79

Sebab-sebab Terjadinya kesyirikan

Ustadz Luqman Jamal , Lc.

PERTANYAAN

Banyak di antara kaum muslimin yang terjerumus ke dalam kesyirikan dengan melakukan amalan-amalan tertentu yang mereka anggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal justru merupakan sebab-sebab kesyirikan. Oleh sebab itu, kami memohon penjelasannya, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada kita dan mereka!

JAWABAN

Mengetahui sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah perkara yang sangat penting dalam rangka menghindarkan diri dengan sejauh-jauhnya darinya, sebab kesyirikan adalah dosa yang terbesar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni pelaku kesyirikan bila tidak bertaubat. Hal ini mewajibkan seorang hamba untuk berhati-hati dan sangat takut kepada-Nya, dan membawanya untuk mengetahui dan menjauhi kesyirikan, karena sesungguhnya kesyirikan adalah sejelek-jelek perkara dan kezhaliman yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang paling besar.” [ Luqman: 13 ]

Sebab-sebab kesyirikan sangatlah banyak, dan yang akan disebutkan adalah pokok-pokoknya, yang dari pokok-pokok inilah kemudian sebab-sebab itu bercabang-cabang. Pokok-pokok itu antara lain:

Berlebih-Lebihan Dalam Memuji

Pertama, Berlebih lebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian Ithra` kepadaku sebagaimana orang-orang Nashara Ithra` terhadap ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Ithra` adalah melampaui batas dalam memuji. Jadi, maksud hadits di atas adalah “Janganlah kalian memujiku dengan melampaui batas sebagaimana Nashara telah berlebih-lebihan dalam memuji ‘Isa bin Maryam sampai mereka mengangkatnya sebagai Ilah yang patut disembah, tetapi sifatilah saya sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati saya dalam Al Qur`an,

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al Qur`an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” [ Al-Kahfi: 1 ] ”

Akan tetapi orang-orang musyrikin dari dahulu sampai sekarang tidak mau kecuali menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan melanggar larangannya. Mereka mengagungkan beliau secara berlebihan dan melakukan hal-hal yang beliau telah melarang dan memperingatkan umatnya dari hal tersebut, yaitu berlebihan dalam mengagungkan beliau. Mereka menyerupai orang-orang Nashara yang berlebihan dalam memuji nabinya. Di antara bentuk kesyirikan dari jenis ini adalah syair Al Bushiry di dalam Al-Burdah . Dia berkata,

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعُمَمِ

“Wahai Makhluk yang paling mulia, kepada siapa saya memohon perlindungan, kecuali kepadamu jika terjadi musibah yang besar.”
Lalu perkataannya yang lain,

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ الْلَوْحِ وَالْقَلَمِ

“Sesungguhnya dari kemuliaanmu lahir dunia dan pasangannya (akhirat) dan termasuk dari ilmumu ilmu Lauh Mahfudz dan Al-Qalam.”

Bait-bait syair seperti ini mengandung doa, permintaan dan perlindungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Juga berisi permintaan agar dihilangkan kesempitan hidup, kesengsaraan serta kerusakan dari penulisnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini bisa terjadi karena syaitan menghias-hiasi perbuatan mereka. Syaithan menampakkan kepada mereka, bahwa ghuluw ‘berlebih-lebihan’ dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, walaupun hal itu merupakan syirik akbar, adalah dalam rangka mencintai dan memuji Nabi. Dia juga menampakkan bahwa berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu tidak berlebihan dalam memujinya merupakan perbuatan membenci, mengurangi hak, enggan untuk bershalawat, dan tidak memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Allahu Musta’an .

Kedua, Berlebih-lebihan dalam memuji orang-orang shalih.

Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam saja terlarang, maka berlebih-lebihan kepada selain beliau, seperti orang-orang shalih, jelas lebih terlarang lagi. Hal inilah yang merupakan penyebab kesyirikan pertama pada umat manusia, yaitu pada umat Nabi Nuh ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an,

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr.’.” [ Nuh: 23 ]

Imam Bukhary mengeluarkan dalam Shahih -nya (8/667) tentang tafsir ayat ini, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata,

ثُمَّ صَارَتْ الأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوْحٍ فِي العَرَبِ بَعْدُ. أَمَّا وَدُّ كَانَتْ لِكَلْبِ بِدَوْمَةِ الجَنْدَلِ, وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ, وَأَمَّا يَغُوْثُ فَكَانَتْ لِمُرَادِ ثُمَّ لِبَنِي غَطِيْفِ بِالجَوْفِ ثُمَّ سَبَأَ, وَأَمَّا يَعُوْقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانِ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرِ لآِلِ ذِي الكَلاَعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ مِنْ قَوْمِ نُوْحٍ فَلَمَّا هَلَكُوْا أَوْحَى الشَيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصَبُوْا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوْا يَجْلِسُوْنَ أَنْصَابًا وَسَمُّوْهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوْا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَى إِذَا هَلَكَ أُوْلَئِكَ وَتَنْسَخُ العِلْمُ عُبِدَتْ

“Kemudian jadilah patung-patung yang ada pada kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam disembah di Jazirah Arab setelahnya. Adapun Wadd adalah patung kepunyaan Kalb di Daumatul Jundal. Adapun Suwa` adalah patung kepunyaan Hudzail. Adapun Yaghuts adalah patung kepunyaan Muradi yang kemudian untuk Bany Ghathif di daerah Jauf kemudian Saba`. Adapun Ya ’uq adalah patung kepunyaan Hamdan. Adapun Nasr adalah patung kepunyaan Himyar khususnya keluarga Dzil Kala’. (Kelima nama ini) adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Maka tatkala mereka (orang-orang shalih) itu wafat, syaithan mempengaruhi kaum Nabi Nuh agar membuat patung-patung pada majelis-majelis mereka yang mereka biasa duduk padanya (dalam rangka mengingat mereka), dan (syaithan juga mempengaruhi mereka) agar mereka menamakan patung-patung terrsebut dengan nama-nama orang shalih tersebut. Maka mereka pun (kaum Nuh) melakukannya. Dan ketika itu mereka (patung-patung itu) belum disembah. Akan tetapi, tatkala orang-orang yang membuat patung tersebut telah meninggal dan ilmu agama telah hilang, maka patung-patung itu pun disembah .” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini).

Yang dimaksud dengan berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih adalah mengangkat mereka pada kedudukan yang tidak ada yang boleh mendudukinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni istighatsah tatkala terkena kesusahan atau tatkala ditimpa bencana, tawaf di kuburan mereka, tabarruk ‘mencari berkah’ dari barang-barang peninggalan mereka, menyembelih di kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada mereka, meminta pertolongan kepada mereka padahal mereka telah meninggal, dan lain-lain.

Telah terjadi pula pada umat ini, seperti apa yang terjadi pada umat Nabi Nuh ‘alaihis salam, tatkala syaithan menampakkan kepada kebanyakan orang bahwa ghuluw ‘berlebih-lebihan’ dan bid’ah-bid’ah adalah pengagungan dan bukti kecintaan terhadap orang-orang shalih. Kemudian syaithan memengaruhi kebanyakan orang tersebut agar membangun kuburan-kuburan orang-orang shalih itu, i’tikaf di situ dan menganggap berdoa di tempat itu diterima. Kemudian meningkat lagi ke bentuk keharaman yang lebih tinggi, bahkan sampai kepada kesyirikan, seperti berdoa dan bertawassul kepada orang-orang shalih itu. Kemudian berpindah lagi kepada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu mengajak manusia untuk beribadah kepada kuburan-kuburan tersebut, dalam bentuk menjadikan hari-hari tertentu sebagai hari peringatan untuk mengunjungi kuburan-kuburan tersebut dan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu padanya. Kalau semua hal di atas telah tetap dan mendarah daging, berpindah lagi kepada yang lebih jelek yaitu, meyakini bahwasanya barangsiapa yang melarang perbuatan-perbuatan seperti itu, maka sesungguhnya dia adalah orang yang merendahkan derajat serta membenci para wali. Kebanyakan orang tersebut meyakini bahwa orang yang melarang perbuatan mereka adalah orang yang tidak memiliki penghormatan, pemuliaan dan pengakuan terhadap kedudukan para wali tersebut. Keyakinan ini telah menghunjam kuat di dalam hati orang-orang awam yang bodoh, bahkan orang-orang yang dianggap mempunyai ilmu agama, sehingga mereka memusuhi ahli tauhid dan menggelarinya dengan gelar-gelar yang buruk yang menyebabkan manusia lari dari ahli tauhid tersebut. Mereka memusuhi ahli tauhid dengan mengatasnamakan kecintaan dan pengagungan kepada orang-orang shalih, padahal mereka itu berdusta, karena mencintai orang-orang shalih hakikatnya adalah sejalan dan sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah menurut pemahaman para Salaf Ash-Shalih. Adapun caranya adalah dengan mengetahui keutamaan-keutamaan Salaf Ash-Shalih tersebut dan mencontoh amalan-amalan shaleh mereka, tanpa meremehkan atau bersikap berlebih-lebihan terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan orang-orang, yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa, ‘Wahai Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’.” [ Al-Hasyr: 10 ]

Ta’ashshub (Fanatik) Terhadap Peninggalan Nenek Moyang Walaupun Itu Bathil dan Menyelisihi yang Haq Khususnya Dalam Masalah Aqidah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pun sebagai pemberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah (para pembesar) di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’.” [ Az-Zukhruf: 23 ]

Tetapi hujjah mereka ini dalam mengikuti nenek moyang telah terbantah oleh firman Allah lainnya,

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [ Al-Baqarah: 170 ]

Keyakinan inilah yang merasuk dan tertanam dalam jiwa-jiwa kaum musyrikin dari dahulu hingga sekarang, sehingga mereka menentang dakwah para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta ’ala tentang kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam,

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kalian selain Dia. Maka mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kalian. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.’.” [ Al-Mu`minun: 23-24 ]

Lihat pula keadaan kaum Nabi Shalih ‘alaihis salam,

“Kaum Tsamud berkata, ‘Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?’.” [ Hud: 62 ]

Juga perhatikan kaum Nabi Ibrahim ‘alahis salam,

“Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu) sebenarnya. Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.” [ Asy-Syu’ara`: 74 ]

kemudian tentang orang-orang musyrikin Arab dan yang mengikuti mereka hingga kini yang berkata kepada Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dan orang-orang yang mengikuti beliau,

“Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), ‘Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal (mengesakan Allah) ini dalam agama yang terakhir. Hal ini tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” [ Shad: 6-7 ]

Namun perlu diketahui, bahwa perbuatan mengikuti nenek moyang kadang terpuji bila nenek moyang tersebut berada di atas kebenaran, sebagaimana Nabi Yusuf mengikuti nenek moyangnya,

“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” [ Yusuf: 38 ]

Senada pula dengannya surah Ath-Thur ayat 21.

Kejahilan atau Kebodohan Terhadap Aqidah yang Benar

Hal ini disebabkan oleh keengganan untuk mempelajari aqidah yang benar dan mengajarkannya, atau sangat sedikitnya perhatian dan pemeliharaan terhadapnya sehingga melahirkan generasi yang tidak mengenal aqidah yang benar atau tidak mengenal hal-hal yang menyelisihi dan membatalkannya, sehingga pada akhirnya dia meyakini yang batil itu haq dan yang haq itu batil, sebagaimana perkataan Umar Ibnu Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya akan dicabut nilai-nilai keislaman sedikit demi sedikit jika di dalam Islam tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak mengenal jahiliyah.” Kebodohan ini merata dan merajalela di tengah-tengah masyarakat Islam. Di antara kebodohan tersebut misalnya pemahaman terhadap tauhid yang hanya terbatas pada tauhid Rububiyah saja, seperti anggapan bahwa orang-orang musyrik dahulu dikatakan musyrik karena mereka meyakini patung-patungnya mampu menciptakan, memberi rezeki, memberi manfaat dan mudarat. Anggapan ini adalah asal kesesatan mayoritas manusia, yang sebab mendasar dari tersebarnya pemahaman ini di kalangan manusia adalah filsafat Yunani yang tercela dan orang-orang yang mengambil ilmu dari mereka dari ahli kalam yang mereka itu memusatkan perhatian dalam menafsirkan kalimat tauhid dengan tafsiran tauhid Rububiyah saja.

Yang haq, tidak ada keraguan padanya, dijadikan dasar penerapan oleh seluruh ulama, dan sesuai dengan penjelasan Al Qur`an adalah bahwasanya orang-orang musyrik dahulu pada zamannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meyakini Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki mereka. Mereka menetapkan tauhid Rububiyah dalam perbuatan-perbuatan Allah, yaitu mencipta, memberi rezeki, mengatur urusan, menghidupkan, mematikan, dan sebagainya, yang mereka tidak meyakini sedikit pun adanya sesuatu yang menyamai Allah dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Itulah yang dinamakan oleh para ulama sebagai tauhid Rububiyah. Akan tetapi mereka tidak mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan mereka, yakni berdoa, meminta pertolongan, mengharap, menyembelih, bernadzar, dan sebagainya, yang para ulama menamakannya sebagai tauhid Uluhiyah atau tauhid Ibadah.

Untuk memperjelas masalah ini, perhatikanlah beberapa ayat dalam Al Qur`an yang menjelaskan dengan berbagai macam pendalilan yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid Rububiyah sementara kesyirikan mereka adalah dalam tauhid Uluhiyah.

Jenis pertama , ayat-ayat yang menjelaskan tentang penetapan mereka terhadap tauhid Rububiyah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?’.” [ Yunus: 31 ]

Kemudian firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Rabb-nya langit yang tujuh dan Rabb-nya `Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka bagaimana kalian bisa tertipu/tersihir?’.” [ Al-Mu`minun: 84-89 ]

Lihat pula surah Al-Ankabut: 61-63, Luqman: 25, dan Az-Zumar: 38.

Ayat-ayat tersebut menggambarkan keyakinan orang-orang musyrikin Arab dahulu dan orang-orang musyrik selain mereka yang menetapkan tauhid Rububiyah, kemudian, dengan mengambil konsekuensi dari pengakuan mereka terhadap tauhid Rububiyah, mereka dipojokkan dengan pertanyaan tentang pengingkaran mereka terhadap tauhid Uluhiyah. Lalu bagaimana dengan orang yang mengingkari tentang hal ini dan mengatakan bahwasanya orang-orang musyrikin tidak menetapkannya padahal Allah telah menceritakan penetapan mereka di dalam Al-Qur`an .

Jenis kedua , ayat-ayat yang menjelaskan persaksian mereka tentang adanya sembahan-sembahan selain Allah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Katakanlah, ‘ Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’ Katakanlah, ‘ Allah.’ Dia menjadi saksi antara aku dan kalian. Dan Al Qur`an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur`an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kalian mengakui bahwasanya ada sembahan-sembahan yang lain di samping Allah? Katakanlah, ‘ Aku tidak mengakui.’ Katakanlah, ‘ Sesungguhnya Dia adalah sembahan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan (dengan Allah).’.” [ Al-An’am: 19 ]

Ayat yang mulia ini memberikan faidah bahwasanya orang-orang musyrikin mempersaksikan bahwasanya Allah adalah Ilah (sesembahan) mereka, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya bersama Allah ada sembahan-sembahan yang lain. Persaksian mereka ini dikuatkan dengan sumpah, penguat dengan kata anna dan huruf lam. Maka lafadz ma’a pada firman Allah, أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ ءَالِهَةً أُخْرَى , menunjukkan bahwasanya mereka menetapkan Rububiyah Allah dan sekaligus Uluhiyah-nya, akan tetapi mereka menjadikan bersama Allah ilah-ilah yang lain. Maka kesyirikan mereka dari sisi penyekutuan mereka kepada ilah-ilah bersama Allah yang mereka menghadap kepada ilah-ilah itu dengan menjadikannya sebagai perantara untuk menghubungkan mereka kepada Allah, menyampaikan hajat dengan berdoa kepada mereka. Ini adalah keyakinan dan agama mereka. Makna seperti ini terdapat di dalam Al Qur`an dalam ayat-ayat yang banyak, di antaranya firman Allah dalam beberapa ayat,

“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang berada dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian, jika kalian memang orang-orang yang benar.’.” [ An-Naml: 60-64 ]

Lihat pula surah Al-Hijr: 95-96.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur`an apa yang diyakini oleh orang-orang musyrikin bahwasanya bersama Allah ada ilah-ilah (sembahan) yang lain. Mereka menetapkan Rububiyah Allah dan Uluhiyah-Nya akan tetapi menjadikan bersama-Nya ilah-ilah yang lain dalam beribadah. Siapa yang memperhatikan dan mentadabburi ayat-ayat yang mulia ini, maka akan dibukakan baginya pintu-pintu ilmu yang membawanya kepada pemahaman yang shahih tentang aqidah yang shahih.

Jenis ketiga , ayat-ayat yang berisi pengakuan dan penetapan mereka atas kesyirikan mereka.

Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Akan berkata orang-orang musyrikin, ‘Seandainya Allah menginginkan, maka kami tidak akan berbuat kesyirikan dan tidak pula bapak-bapak kami, dan tidak pula mengharamkan sesuatu apapun.’.” [ Al-An’am: 148 ]

Ayat ini memberikan faidah bahwasanya mereka menetapkan pada diri mereka kesyirikan dalam ibadah. Mereka mengakui dirinya berbuat kesyirikan dalam Uluhiyah-Nya Allah pada saat mereka menetapkan Rububiyah-Nya.

Jenis keempat , ayat-ayat yang menggambarkan bahwa terjadinya kesyirikan mereka adalah di saat senang/lapang.

Di antaranya firman Allah,

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, seketika mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [ Al-‘Ankabut: 65 ]

Perhatikan pula ayat yang semakna dengannya dalam surah Luqman: 32.

Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dialah Tuhan yang menjadikan kalian dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kalian berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’.” [ Yunus: 22 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan dalam ayat-ayat di atas bahwasanya orang-orang musyrikin, yang mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan memerangi beliau, tidak berbuat kesyirikan kecuali dalam keadaan lapang dan senang dan bukan dalam keadaan susah atau tertimpa bencana dan kesulitan. Mereka pada saat seperti itu mengikhlaskan agama hanya kepada Allah, tidak berdoa kepada selain-Nya dan tidak mengambil perantara antara dirinya dengan Allah. Maka bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwasanya orang-orang kafir itu musyrik dalam Rububiyah Allah tidak dalam ibadah kepada-Nya. Apakah mungkin mereka itu berdoa dalam keadaan ikhlas ketika ditimpa bencana kalau mereka tidak meyakini Rububiyah dan Uluhiyah-Nya?

Jenis kelima , ayat-ayat yang menggambarkan penetapan mereka terhadap tauhid Rububiyah dan kesyirikan mereka dalam tauhid Uluhiyah:

Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [ Yusuf: 106 ]

Iman mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta ’ala adalah ucapan mereka bahwasanya Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, serta yang mematikan dan menghidupkan mereka. Selain itu, kesyirikan mereka adalah tatkala mereka menjadikan bagi Allah serikat dalam ibadah dan berdoa kepada-Nya. Maka mereka tidak mengikhlaskan bagi-Nya dengan meminta hanya kepada-Nya. Demikianlah tafsir ayat di atas menurut para ahli tafsir, yakni Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Atha’, dan selain mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim tentang ayat ini).



Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid Rububiyah adalah:

Pertama, hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam Shahih Muslim (2/4),

كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ الفَجْر,ُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ. فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ, وَإِلاَّ أَغَارَ. فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ : الله أكبر الله أكبر. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : عَلَى الفِطْرَةُ. ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ. فَنَظَرُوْا فَإِذَا هُوَ رَاعِيُ مُعْزِى.

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyerang jika telah terbit fajar, dan beliau menunggu adzan. Kalau mendengar adzan, beliau menahan (tidak menyerang), dan kalau tidak, beliau menyerang. Lalu beliau mendengar seseorang mengatakan , ‘ Allahu Akbar, Allahu Akbar ,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan , ‘ Di atas fitrah.’ Kemudian orang tadi berkata, ‘ Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah ,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ‘ Kamu selamat dari neraka.’ Kemudian para shahabat melihat ternyata orang itu hanyalah seorang pengembala kambing.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, “Di atas fitrah”, kepada orang yang berkata, “Allahu akbar”, memberikan faidah bahwasanya perkataan orang ini dan apa yang ditunjukkannya berupa makna Rububiyah adalah merupakan suatu fitrah yang telah tetap bagi manusia, oleh sebab itu Rasulullah belum menghukuminya sebagai orang yang selamat dari neraka dan sebagai orang Islam kecuali setelah ucapannya, “Asyhadu alla ilaha illallah”, syahadat yang mengandung pengingkaran kepada seluruh yang disembah selain Allah, dan itulah tauhid Uluhiyah.

Kedua, dalam Shahih Muslim (15/11 serta Syarh An-Nawawy ) dari hadits ‘Amr Ibnu Asy-Syarid, dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

رَدِفْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ : هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةِ بْنِ أَبِي الصَّلْتَ شَيْئًا ؟ قُلْتُ : نعم. قَالَ : هِيْهِ, فَأَنْشَدَتْهُ بَيْتًا فَقَالَ : هيه, ثُمَّ أَنْشَدَتْهُ بَيْتًا فَقَالَ : هيه حتى أنشدته مِائَةَ بَيْتٍ

“Saya membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada suatu hari, kemudian beliau berkata, ‘Apakah kamu menghafal sesuatu dari sya’ir ‘Umayyah Ibnu Abi Ash Shalt?’ Saya menjawab, ‘Iya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata lagi, ‘Perdengarkan!’ Maka saya pun memperdengarkan satu bait sya’ir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah lagi,’ maka saya menambah lagi satu bait. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah lagi,’ sampai saya membawakan 100 bait.”

Dalam riwayat yang lain, dari riwayat ‘Abdurrahman Ibnu Mahdy, ada tambahan “Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena sya’irnya.”

Maka perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, “Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena sya’irnya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak menghukumi baginya Islam dengan sekedar tauhidnya bahwasanya Allah pencipta, menghidupkan dan mematikan dan sebagainya, dan dia (‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt) termasuk orang-orang kafir yang ada pada zamannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Berkata Imam An-Nawawy, “Nabi meminta tambahan dari syair-syairnya karena di dalamnya terkandung penetapan terhadap Rububiyah Allah dan hari kebangkitan.”

Sya’ir-sya’ir yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin Arab menetapkan tauhid Rububiyah semata di antaranya Sya’ir ‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt,

الْحَمْدُ للهِ مَمْسَانَا وَمَصْبَحِنَا بِالخَيْرِ صَبَّحَنَا رَبِّي وَ مَسَّانَا

رَبِّ الحَنَفِيَّةِ لَمْ تَنْفُدْ خَزَائِنُهَا مَمْلُوْءَةً طِبْقَ الْآفَاقِ أَشْطَانَا

أَلاَّ نَبِيَّ لَنَا مِنَّا فَيُخْبِرُنَا مَا بَعْدَ غَايَتِنَا مِنْ رَأْسٍ هُجْرَانَا



Segala puji bagi Allah di waktu petang dan pagi

Dengan kebaikan Rabb-ku di waktu pagi dan petang

Tuhan yang Maha Hanif tidak pernah habis perbendaharaannya
Selalu penuh, memenuhi seluruh ufuk luasnya

Kenapa bukan Nabi dari kami yang mengabarkan kepada kami

Apa tujuan kami yang sebenarnya berpindah

Disarikan dari sumber-sumber berikut:

* Al-Irsyad Ila Tashih Al-I’tiqad karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
* Hadzihi Mafahimuna karya Syeikh Dr. Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh
* At-Ta’liqat ‘ Ala Kasyf Asy-Syubhat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
* Kitab At-Tauhid Li As–Shaff Al-Awwal Ats-Tsanawy . cet. Wizaratul Ma’arif

sumber: http://an-nashihah.com/?p=49

Hukum nikah dalam keadaan hamil

PERTANYAAN

1. Bagaimana hukum pernikahan dengan wanita yang sedang hamil?
2. Bila terlanjur menikah, apa yang harus dilakukan? Apakah harus bercerai terlebih dahulu kemudian menikah lagi, atau langsung menikah tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini, apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
4. Manakah cara berdzikir yang benar sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendiri-sendiri? Dan mengeraskan suara atau tidak?

Dari Mugiyono, Jakarta Pusat

Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al- ‘ Alim Al-Hakim – sebagai berikut.

JAWABAN PERTAMA

Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:

* Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
* Perempuan yang hamil karena melakukan zina, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘ iyadzu billah , mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini-.

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, maka tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘ iddah[1] nya, dan ‘ iddahnya ialah sampai ia melahirkan, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta ’ ala ,

“ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘ iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [ Ath-Thalaq: 4 ]

Hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram, dan nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam firman Allah Ta ’ ala ,

“ Dan janganlah kalian ber- ‘ azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘ iddahnya. ” [ Al-Baqarah: 235 ]

Berkata Ibnu Katsir, dalam Tafsir -nya, tentang makna ayat ini, “ Yaitu, jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘ iddahnya. ” Kemudian beliau berkata, “ Dan para ulama telah bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘ iddah. ”

Lihat Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu ’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263, dan Zadul Ma ‘ ad 5/156.
Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci lebih meluas, karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka, dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al- ‘ Alim Al-Khabir , masalah ini kami uraikan sebagai berikut.

Tentang perempuan yang telah berzina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya, terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.

Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.

Syarat pertama , bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.

Dalam pensyaratan taubat, ada dua pendapat di kalangan ulama:

* Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘ Ubaid.
* Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi ’ iy, dan Abu Hanifah.

Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109, “ Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan. ”

Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘ Azza Wa Jalla ,

“ Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin. ” [ An-Nur: 3 ]

Lalu, dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh, beliau berkata,

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ : فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ : ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ تَنْكِحْهَا

“ Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata, ‘ Maka saya datang kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam lalu saya berkata, ‘ Ya Rasulullah, (apakah) saya (boleh) menikahi ‘ Anaq? ’.’ Martsad berkata, ‘ Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat), ‘ Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik .’ Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata, ‘ Jangan kamu menikahi dia .’ . ” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul )

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum haram tersebut berlaku bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“ Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya. ” (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ulama yang mengatakan bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nurini bermakna jima ’ , atau yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh ‘ terhapus hukumnya ’, adalah pendapat yang jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Pendapat yang mengatakan haram menikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat juga dikuatkan oleh Asy-Syinqithy dalam Adhwa` Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.

Lihat permasalahan di atas dalam Al-Ifshah 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Âlamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.



Catatan

Sebagian ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam Al-Fatawa 32/125, kelihatan condong ke pendapat ini.

Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny 9/564, berpendapat lain. Beliau berkata, “ Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini (dilakukan) pada saat ber-khalwat ‘berduaan’ padahal tidak halal ber-khalwat dengan Ajnabiyah ‘perempuan bukan mahram’ walaupun untuk mengajarinya (Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah) untuk berzina? ”

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:

1. Ikhlas karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber-‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.

Dan bukan di sini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.



Syarat Kedua , telah lepas ‘iddah.

Para ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:

Pertama , wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Kedua , tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber- jima’ sampai istibra` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.



Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

Dalil pertama , hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً

“ Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali. ” (diriwayatkan olehAhmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)



Dalil kedua , hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , beliau bersabda,



مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“ Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. ” (diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)



Dalil ketiga , hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslimdari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,



أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.

“ Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda, ‘ Barangkali orang itu ingin menggaulinya? ’ ( Para sahabat) menjawab, ‘ Benar. ’ Maka Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda, ‘ Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya ’ . ”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “ Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina. ”

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.



Catatan

Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘ Azza Wa Jalla,

“ Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. ” [ Ath-Thalaq: 4 ]

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan bahwa iddahnya adalah istibra` dengan satu kali haid, sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.

Namun, yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra` dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Adapun ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu,

“ Dan wanita-wanita yang ditalak (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). ” [ Al-Baqarah: 228 ]



Kesimpulan

1. Tidak boleh menikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat, yaitu bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddahnya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut:

o Kalau ia hamil, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
o Kalau ia belum hamil, ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.



Lihat pembahasan di atas dalam Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshah 8/81-84, Al-Inshaf 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Thalibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adhwa` Al-Bayan 6/71-84, dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.





JAWABAN KEDUA

Telah jelas, dari jawaban di atas, bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat maupun karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Para ulama bersepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya mengetahui haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah, keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd ‘ hukuman ’ sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam. Demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Kalau ada yang bertanya, “ Setelah berpisah, apakah keduanya boleh kembali setelah lepas masa ‘iddah? ”

Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, “ Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddahnya. ”

Tetapi pendapat mereka diselisihi oleh Imam Malik. Beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘ anhu yang menunjukkan hal tersebut. Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat terdahulu dari Imam Syafi ’ iy, tetapi belakangan Imam Syafi ’ iy berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Pendapat yang terakhir ini merupakan zhahir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik, bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘ anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘ ilmu ‘ indallah .

Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).





JAWABAN KETIGA

Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, kemudian mereka berdua tetap melakukan jima ’ , maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan hukum Islam di dalamnya, dan tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.

Adapun kalau keduanya tidak mengetahui tentang haramnya menikahi perempuan hamil, ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya, karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau ia memang belum mengambil atau belum dilunasi mahar tersebut.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا

“ Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan), baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih, penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali. ” (diriwayatkan olehSyafi ’ iy sebagaimana dalam Musnad -nya 1/220, 275 dan dalam Al-Umm 5/13, 166, 7/171, 222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47, 66, 165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnad -nya 1/112, Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzy no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa no. 700, Sa ’ id bin Manshur dalam Sunan -nya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Âtsar 3/7, Abu Ya ’ la dalam Musnad -nya no. 4682, 4750, 4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daraquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105, 124, 138, 10/148, Abu Nu ’ aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1840)

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil, tidak sah, sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu, kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.

Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta ’ ala ,

“ Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan. ” [ An-Nisa`: 4 ]

Juga firman Allah Subhanahu Wa Ta ’ ala ,

فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

“ Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban. ” [ An-Nisa`: 24 ]

Banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A ’ lam .

Lihat Al-Mughny 10/186-188, Shahih Al-Bukhary ( Fathul Bary )9/494, Al-Fatawa 32/198, 200, dan Zadul Ma’ad 5/104-105.





JAWABAN KEEMPAT

Ada dua permasalahan yang harus diuraikan dalam pertanyaan yang keempat ini:

o Manakah yang paling utama, berdzikir secara bersama atau sendiri-sendiri?
* Apakah disyariatkan mengeraskan suara atau tidak ketika berdzikir?



Adapun jawaban untuk masalah yang pertama, kami persilahkan untuk menyimak fatwa-fatwa berikut ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya sebagai berikut.

“Apakah berdoanya imam dan makmum (secara bersama) setelah shalat wajib boleh atau tidak?”

Beliau menjawab, “Alhamdulillah, adapun doanya imam dan makmum secara bersama setelah shalat adalah (perkara) bid’ah, tidak pernah ada di masa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam . Doa beliau hanya di pertengahan shalat, karena orang yang shalat bermunajat kepada Rabb-nya, sehingga, kalau ia berdoa saat bermunajat kepada-Nya, itu sangatlah cocok. Adapun doa setelah selesai bermunajat dan menghadap kepada-Nya tidaklah cocok, tetapi yang disunnahkan setelah shalat hanyalah berdzikir dengan yang ma’tsur ‘ada riwayatnya’ dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berupa tahlil, tahmid dan takbir ….” Lihat Majmu’ Al-Fatawa 22/519-520.

Lalu pada jilid 22 hal. 512, beliau berkata,

“Tidaklah Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan para makmum berdoa setelah shalat lima waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang setelah shalat fajr dan ashar. Hal tersebut tidaklah dinukil dari seorang pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang pun dari kalangan imam, dan siapa yang menukil dari Asy-Syafi’iy bahwa ia menganggapnya sunnah, sungguh ia telah salah, karena lafazh beliau (Imam Syafi’iy-pent.) yang ada di buku-buku beliau menafikan hal tersebut, dan demikian pula Ahmad dan selainnya dari para imam, mereka tidak menganggapnya sunnah ….”



Kemudian dalam pertanyaan kedua pada fatwa no. 3552 dari lembaga fatwa ulama besar Saudi Arabiyah yang dijawab dan ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify rahimahullah, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan hafizhahullah dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah, disebutkan sebagai berikut.

Pertanyaan: Membaca Al-Qur`an dan berdoa secara berjamaah setelah shalat wajib, apakah termasuk sunnah atau bid’ah?

Jawaban: Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan. Khulafa` Ar-Rasyidin dan para shahabat beliau telah menerima petunjuk beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan beramal dengannya serta menyampaikannya kepada orang setelah mereka. Petunjuk beliau adalah berdzikir kepada Allah dan berdoa seorang diri, dan tidaklah beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam meminta seorang pun dari para shahabat untuk berkumpul dengannya kemudian beliau berdoa dengan orang-orang yang bersamanya secara berjamaah. Apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membaca Al-Fatihah dan berdoa secara berjamaah setelah shalat merupakan perkara bid’ah. Telah tsabit ‘tetap,pasti’ dari Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih -nya).

Asal (hadits ini) dalam (riwayat) Ash-Shahihain dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat perkara baru dalam agama kami ini, apa-apa yang bukan darinya maka ia tertolak.”

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangatlah banyak. Tidaklah menjadi baik akhir dari ummat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan awal dari mereka baik dengannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah dan selain beliau dari Ahlul ‘Ilmi. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam .”



Kemudian pada pertanyaan ketiga dalam fatwa no. 2251 disebutkan sebagai berikut.

“Manusia berselisih tentang berdoa dengan cara berjamaah setelah sunnah-sunnah rawatib. Sebagian orang berkata, ‘Tidak dinukil sesuatu pun tentang hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dari sahabatnya. Andaikata itu adalah suatu kebaikan, maka tentunya mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya karena mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam mengikuti kebenaran.’ Sebagian orang berkata, ‘Berdoa dengan cara berjamaah setelah sunnah-sunnah rawatib adalah mustahab ‘disukai’ dan mandub ‘dianjurkan’, bahkan masnun[2] ‘disunnahkan’, karena ia merupakan dzikir dan ibadah, dan setiap dzikir dan ibadah paling sedikitnya adalah merupakan mustahab atau masnun.’ Mereka juga mencela orang-orang yang tidak menunggu (untuk) berdoa dan (langsung) berdiri setelah shalat.”

Jawaban: “Doa adalah salah satu ibadah dari bentuk-bentuk ibadah, dan ibadah-ibadah itu dibangun diatas At-Tauqif ‘tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil-pent.’. Tidak boleh dikatakan bahwa ini adalah ibadah yang disyariatkan, baik dari sisi asalnya, bilangannya, bentuknya maupun tempatnya (waktu dan tempatnya-pen), kecuali dengan dalil syar’iy yang menunjukkan hal tersebut, dari nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , baik dari perkataan, perbuatan maupun taqrir ‘penetapan, persetujuan’ dari beliau, yang menunjukkan apa yang disangka oleh kelompok kedua. Segala kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam . Dalam bab ini, telah tsabit ‘tetap,pasti’ dengan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang beliau lakukan setelah salam, dan telah berlalu para khalifah yang mengikuti mereka dengan baik setelah mereka. Siapa yang membuat perkara baru yang menyelisihi petunjuk Rasul shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , maka ia tertolak. Beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,



مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.”

Imam yang berdoa setelah salam, dan doanya diaminkan oleh para makmum dan semuanya mengangkat tangan, akan dimintai dalil yang menetapkan perbuatannya. Kalau ia tidak mempunyai dalil, maka amalannya tertolak. Demikian pula orang yang mengerjakan hal tersebut setelah shalat nafilah ‘shalat sunnah’ dimintai dalil, sebagaimana firman Allah pada (ayat) yang seperti ini ,

“Katakanlah, ‘Berikanlah bukti kalian jika kalian memang benar.’.” [ Al-Baqarah: 111 ]

Kami tidak mengetahui adanya satu dalil pun, dari Al-Kitab dan tidak pula dari sunnah, yang menunjukkan disyariatkannya apa yang disangka oleh kelompok kedua ini, berupa doa dan dzikir berjamaah dengan bentuk yang disebutkan dalam pertanyaan. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam .”



Selain itu, pada pertanyaan pertama dalam fatwa no. 3901 yang dijawab oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, ‘Abdullah bin Ghudayyan hafizhahullah dan ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah, disebutkan sebagai berikut.

Pertanyaan: “Apakah berdoa setelah shalat fardhu adalah sunnah, dan apakah doa dibarengi dengan mengangkat tangan, dan apakah diangkat bersama imam lebih utama atau tidak?”

Jawaban: “Doa setelah shalat fardhu bukanlah sunnah kalau hal tersebut dengan mengangkat tangan, baik dari imam sendiri, dari makmum sendiri, maupun dari keduanya secara bersama (berjamaah), bahkan itu adalah bid’ah, karena tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dan para sahabatnya. Adapun doa (sendiri-sendiri-pen.) tanpa mengangkat tangan, itu tidaklah apa-apa, karena warid dalam sebagian hadits tentang hal tersebut. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wa sallam .”



Adapun masalah kedua jawabannya sebagai berikut.

Imam An-Nawawy, dalam Syarh Muslim 5/117 (cet. Mu’assasah Qurthubah), menyebutkan ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum mengeraskan dzikir setelah shalat fardhu:

1. Sebagian para ulama salaf menganggap hal tersebut adalah sunnah, dan ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry.
2. Ibnu Baththal dan yang lainnya menukil bahwa para pengikut madzhab fiqih dan selain mereka telah bersepakat tentang tidak disunnahkannya mengangkat suara dengan dzikir maupun takbir.
3. Berkata Imam Syafi’iy, “Saya memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala setelah selesai shalat dan keduanya menyembunyikan (baca: tidak mengeraskan) hal tersebut, kecuali seorang imam yang hendak diambil pelajaran darinya, maka ia mengeraskan sehingga diketahui (hal tersebut) kemudian ia menyembunyikannya.”



Para Ulama yang menganggap sunnahnya mengeraskan dzikir berdalilkan dengan hadits riwayat Bukhary dan Muslim dari jalan Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

إِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.

“Sesungguhnya mengangkat suara ketika berdzikir saat manusia selesai dari shalat wajib, ada di masa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , dan Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Saya mengetahui mereka selesai dengan hal tersebut bila saya mendengarnya.’.”

Kata berdzikir menurut pandangan para ulama di atas adalah kalimat yang umum, sehingga mencakup segala jenis dzikir.

Tetapi pendalilan ini kurang kuat, karena hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhary dan Muslim dengan lafazh lain dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata (dari lafazh riwayat Muslim),

مَا كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ

“Kami tidak mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , kecuali dengan (mendengar) takbir.”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 2/326, “Perkataan beliau “dengan mendengar takbir” lebih khusus dari riwayat Ibnu Juraij yang sebelumnya, karena dzikir lebih umum daripada takbir dan mungkin riwayat ini menafsirkan (riwayat sebelum)nya, sehingga yang diinginkan dengan mengeraskan suara dengan dzikir adalah dengan takbir.”



Maka yang benar, dalam hadits Ibnu ‘Abbas ini, adalah mengangkat suara pada takbir saja, bukan pada dzikir secara umum. Kami menguatkan hal ini berdasarkan tiga alasan:

1. Riwayat takbir lebih kuat dari riwayat dzikir, karena Sufyan Ibnu ‘Uyainah lebih kuat dari Ibnu Juraij dalam meriwayatkan hadits dari ‘Amr bin Dinar. Lihat Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy 2/684-685 tahqiq Dr. Hammam.
2. Apabila ada dua kalimat yang berbeda; ada yang umum dan ada yang khusus, dan dua kalimat ini berasal dari satu hadits yang sama makhraj ‘perputaran sanad’-nya, maka pengertian kalimat yang umum dikembalikan ke kalimat yang khusus. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied dan selainnya dari para ulama ahli ushul fiqih.

Demikian pula dalam hadits ini, kata dzikir lebih umum daripada kata takbir. Karena perputaran hadits ini satu, yaitu ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, maka kata dzikir dikembalikan maknanya kepada kata takbir, sehingga bisa disimpulkan bahwa yang diinginkan dengan dzikir itu adalah takbir saja. Wallahu A’lam.

1. Lafazh riwayat Muslimyang kami sebutkan di atas datang dalam bentuk hashr ‘pembatasan’, sehingga semakin menguatkan bahwa hanya takbir saja yang disyariatkan untuk diucapkan dengan mengangkat suara setelah shalat. Wallahu A’lam.



Adapun selain takbir, dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah menunjukkan bahwa dzikir tidak dikeraskan. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya:

Firman Allah Ta’ala,

“Dan sebutlah (nama) Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai .”[ Al-A'raf: 205 ]

Berkata Ibnu Katsir, “Dan demikianlah disunnahkan bahwa dzikir itu tidak berupa teriakan atau suara keras yang berlebihan.”

Lalu sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,

أَيُّهَا النَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ

“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkan suara kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak ada. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kalian.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu)

Kemudian hadits Abu Sa’id Al-Khudry, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلاَةِ

“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan sekali-sekali sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan (pula) sebagian dari kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca, atau beliau berkata, dalam shalat.” ( Diriwayatkan oleh Ahmad 3/94, Abu Daud no. 1332, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, Abdu bin Humaid no. 883, Al-Hakim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’abul Îman 2/543, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 23/318. Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah di atas syarat Asy-Syaikhain dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )

Selain itu, Syaikhuna Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah, dalam kitab Ijabah As-Sa`il hal. 79, menyebutkan beberapa dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, di antaranya:

1. Orang yang berdzikir akan terganggu oleh dzikir orang lain jika semuanya mengangkat suara, khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda.
2. Akan mengganggu orang-orang yang masbuq.
3. Mengganggu orang yang melakukan shalat sunnah (orang yang shalat sunnah setelah shalat wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya). Wallahu A’lam.



Kesimpulan

Dzikir tidak di-jahr-kan (tidak dikeraskan) setelah shalat fardhu, kecuali ucapan takbir yang disunnahkan untuk dikeraskan.



Pelengkap

Ucapan takbir adalah mengucapkan Allahu Akbar, tetapi tidak disebutkan dalam hadits berapa kali takbir ini diucapkan. Karena itu, takbir boleh diucapkan beberapa kali tanpa batas, tetapi lebih utama dengan urutan bilangan ganjil, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

“Sesungguhnya Allah itu tunggal, menyenangi bilangan ganjil.”

[1] Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Nailul Authar 4/438 , “‘Iddah adalah istilah bagi waktu penantian seorang perempuan untuk menikah (lagi) setelah suaminya meninggal atau (suaminya) menceraikannya. (Berakhirnya waktu ini) dengan (sebab dia) melahirkan (jika hamil), quru` (yaitu haid menurut pendapat yang kuat-pen.) atau dengan (berlalunya) beberapa bulan.”

[2] Kata mustahabb, mandub dan masnun menurut para ulama ushul fiqh bermakna sama , yaitu disunnahkan, tetapi kami menerjemahkannya sesuai dengan konteks pertanyaan.
sumber:http://an-nashihah.com/?p=93
DOWNLOAD MATERI SARASEHAN DAN DIALOG PENEGUHAN AMAL DENGAN ILMU SEPUTAR 'IDUL ADHA DI SINI .BAGI ANDA YANG INGIN MENGETAHUI KRETERIA HEWAN/DAGING YANG SEHAT DAN SAKIT SERTA MANFA'AT DAN MADLOROTNYA ANDA BISA MEN DOWNLOAD NYA DI SINI